Sabtu, 02 April 2011

makalah analisis wacana

Pembahasan

A. Pengertian Wacana
Wacana adalah satuan bahasa terlengkap, dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar. Wacana ini direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh (novel, buku, seri ensiklopedia, dan sebagainya), paragraf atau kata yang membawa amanat yang lengkap.
Wacana adalah kata yang sering dipakai masyarakat dewasa ini. Banyak pengertian yang merangkai kata wacana ini. Dalam lapangan sosiologi, wacana menunjuk terutama dalam hubungan konteks sosial dari pemakaian bahasa. Dalam pengertian linguistik, wacana adalah unit bahasa yang lebih besar daripada kalimat. Sedangkan menurut Michael Foucault (1972), wacana; kadang kala sebagai bidang dari semua pernyataan (statement), kadang kala sebagai sebuah individualisasi kelompok pernyataan, dan kadang kala sebagai praktik regulatif yang dilihat dari sejumlah pernyataan.
Menurut Eriyanto (Analisis Wacana, Pengantar Analisis Teks Media), Analisis Wacana dalam studi linguistik merupakan reaksi dari bentuk linguistik formal (yang lebih memperhatikan pada unit kata, frase, atau kalimat semata tanpa melihat keterkaitan di antara unsur tersebut). Analisis wacana adalah kebalikan dari linguistik formal, karena memusatkan perhatian pada level di atas kalimat, seperti hubungan gramatikal yang terbentuk pada level yang lebih besar dari kalimat. Analisis wacana dalam lapangan psikologi sosial diartikan sebagai pembicaraan. Wacana yang dimaksud di sini agak mirip dengan struktur dan bentuk wawancara dan praktik dari pemakainya. Sementara dalam lapangan politik, analisis wacana adalah praktik pemakaian bahasa, terutama politik bahasa. Karena bahasa adalah aspek sentral dari penggambaran suatu subyek, dan lewat bahasa ideologi terserap di dalamnya, maka aspek inilah yang dipelajari dalam analisis wacana.
Ada tiga pandangan mengenai bahasa dalam bahasa. Pandangan pertama diwakili kaum positivisme-empiris. Menurut mereka, analisis wacana menggambarkan tata aturan kalimat, bahasa, dan pengertian bersama. Wacana diukur dengan pertimbangan kebenaran atau ketidakbenaran menurut sintaksis dan semantik (titik perhatian didasarkan pada benar tidaknya bahasa secara gramatikal) — Analisis Isi (kuantitatif)
Pandangan kedua disebut sebagai konstruktivisme. Pandangan ini menempatkan analisis wacana sebagai suatu analisis untuk membongkar maksud-maksud dan makna-makna tertentu. Wacana adalah suatu upaya pengungkapan maksud tersembunyi dari sang subyek yang mengemukakan suatu pertanyaan. Pengungkapan dilakukan dengan menempatkan diri pada posisi sang pembicara dengan penafsiran mengikuti struktur makna dari sang pembicara. –Analisis Framing (bingkai)
Pandangan ketiga disebut sebagai pandangan kritis. Analisis wacana dalam paradigma ini menekankan pada konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. Bahasa tidak dipahami sebagai medium netral yang terletak di luar diri si pembicara. Bahasa dipahami sebagai representasi yang berperan dalam membentuk subyek tertentu, tema-tema wacana tertentu, maupun strategi-strategi di dalamnya. Oleh karena itu analisis wacana dipakai untuk membongkar kuasa yang ada dalam setiap proses bahasa; batasan-batasan apa yang diperkenankan menjadi wacana, perspektif yang mesti dipakai, topik apa yang dibicarakan. Wacana melihat bahasa selalu terlibat dalam hubungan kekuasaan. Karena memakai perspektif kritis, analisis wacana kategori ini disebut juga dengan analisis wacana kritis (critical discourse analysis). Ini untuk membedakan dengan analisis wacana dalam kategori pertama dan kedua (discourse analysis).

Tarigan (1987: 27) mengungkapkan bahwa wacana adalah satuan bahasa yang terlengkap dan tertinggi atau terbesar di atas kalimat atau klausa dengan kohesi dan koherensi tinggi yang berkesinambungan yang mempunyai awal dan akhir yang nyata disampaikan secara lisan maupun tertulis. Menurut Crystal (dalam Nunan, 1993: 5), wacana adalah kesatuan bahasa yang lebih besar dari kalimat dan membentuk unit yang koheren, misalnya ceramah, pendapat, lelucon, atau narasi.
Wacana merupakan unit bahasa yang terkait oleh satu kesatuan. Kesatuan dalam wacana menurut Halliday (dalam Purwati, 2003: 16) bersifat semantis. Wacana tidak selalu harus direalisasikan dalam bentuk rangkaian kalimat. Wacana adalah satuan bahasa yang komunikatif, yaitu yang sedang menjalankan fungsinya. Ini berarti wacana harus mempunyai pesan yang jelas dan dengan dukungan situasi komunikasinya, bersifat otonom, dan dapat berdiri sendiri. Dengan demikian, pemahaman wacana haruslah memperhitungkan konteks situasinya, karena hal itu akan memengaruhi makna wacana.
Menurut Darjowidjojo (dalam Hartono, 2000: 142), dalam komunikasi verbal, baik yang monolog maupun yang dialog, salah satu syarat penting yang harus diperhatikan adalah kesinambungan porposisi yang diajukan. Kodrat kesinambungan dalam monolog berbeda dengan kodrat yang ada pada dialog karena dalam monolog si pembicara atau penulis tidak perlu memperhatikan tanggapan verbal yang dinyatakan oleh pembicara atau lawan bicaranya. Kesinambungan ini kadang-kadang mempunyai manifestasi fonetis yang eksplisit, tetapi kadang-kadang juga hanya terwujudkan dalam suatu implikatur yang sifatnya circumstansial.
Menurut Longacre (dalam Hartono, 2000: 143) sebuah perpaduan menyangkut dua lokus. Pertama, dalam struktur batin (nosional deep structure) haruslah terdapat keserasian antara satu nosi di satu kalimat dan nosi di kalimat yang lain. Kedua, perpaduan dan pertalian nosi-nosi harus mempunyai manifestasi fonetis pada struktur lahir (surface structure).
Menurut Beaugrande (1981: 3), suatu wacana mempunyai ciri-ciri berupa koherensi, kohesi, maksud pengirim, keberterimaan, memberikan informasi, situasi pengujaran, dan intertekstualitas. Dalam bidang makna, setiap kalimat dalam paragraf menyampaikan suatu informasi. Informasi pada kalimat satu berhubungan dengan kalimat lain sehingga paragraf membentuk kesatuan informasi yang padu (Ramlan, 1993: 41). Sedangkan bentuk pertalian antarinformasi yang dinyatakan pada kalimat satu dengan informasi kalimat yang lainnya adalah penjumlahan, perturutan, perlawanan atau pertentangan, lebih, sebab akibat, waktu, syarat, cara, kegunaan, dan penjelasan.

B. Kohesi dan Koherensi
Kohesi dan koherensi dalam wacana merupakan salah satu unsur pembangun wacana selain tema, konteks, unsur bahasa, dan maksud. Kohesi adalah keserasian hubungan antara unsur-unsur yang satu dengan yang lain dalam wacana, sehingga tercipta pengertian yang baik (Djajasudarma, 1994: 47). Kohesi dan koherensi juga merupakan syarat terbentuknya suatu wacana selain syarat lain, yaitu topik.
Koherensi tidak harus selalu dicapai dengan bantuan kohesi (Alwi et.al. dalam Hartono, 2000: 144). Akan tetapi, kohesi dapat merupakan pendukung terjadinya koherensi. Kohesi adalah pertautan makna, sedangkan koherensi adalah keruntutan makna. Kohesi harus dibedakan pada tingkat wacana (proposisi) dan teks (bentuk). Koherensi hanya pada tingkat wacana. Koherensi ditentukan oleh kerangka acuan wacana.
C. Konsep Kohesi dalam Wacana
Kohesi merupakan aspek formal bahasa dalam wacana. Kohesi juga merupakan organisasi sintaksis dan merupakan wadah bagi kalimat yang disusun secara padu dan padat untuk menghasilkan tuturan (Tarigan, 1987: 96). Pengetahuan strata dan penguasaan kohesi yang baik memudahkan pemahaman tentang wacana. Wacana bernar-benar bersifat kohesif apabila terdapat kesesuaian secara bentuk bahasa terhadap konteks (James dalam Tarigan, 1987: 97).
Konsep kohesi mengacu pada hubungan bentuk. Artinya, unsur-unsur (kata atau kalimat) yang digunakan untuk menyusun suatu wacana memiliki keterkaitan yang padu dan utuh. Dengan kata lain, kohesi adalah aspek internal dari struktur wacana. Tarigan (1987: 96) menambahkan bahwa penelitian terhadap unsur kohesi adalah bagian dari kajian tentang aspek formal bahasa, dengan organisasi dan struktur kewacanaanya yang berkonsentrasi pada dan bersifat sintaksis gramatikal.
Wacana yang baik dan utuh adalah jika kalimat-kalimatnya bersifat kohesif. Hanya melalui hubungan yang kohesif, maka ketergantungannya pada unsur-unsur lainnya. Hubungan kohesif khusus yang bersifat lingual-formal. Selanjutnya, Halliday (1976: 4) mengemukakan bahwa unsur-unsur kohesi wacana terdiri atas dua jenis, yaitu kohesi gramatikal dan kohesi leksikal. Unsur-unsur kohesi gramatikal terdiri dari reference (referensi), substitution (substitusi), ellipsis (elipsis), dan conjunction (konjungsi), sedangkan unsur-unsur kohesi leksikal terdiri atas reiteration (reiterasi) dan collocation (kolokasi).
Referensi atau penunjukan merupakan bagian kohesi gramatikal yang berkaitan dengan penggunaan kata atau kelompok kata untuk menunjuk kata atau kelompok kata atau satuan gramatikal lainnya (Ramlan dalam Mulyana, 2005: 133). Dalam konteks wacana, penunjukan terbagi atas dua jenis yaitu penunjukan eksoforik (di luar teks) dan penunjukan endoforik (di dalam teks). Dalam aspek referensi, terlihat juga adanya bentuk-bentuk pronomina (kata ganti orang, kata ganti tempat, dan kata ganti lainnya).
Substitusi (penggantian) adalah proses dan hasil penggantian unsur bahasa oleh unsur lain dalam satuan yang lebih besar. Proses substitusi merupakan hubungan gramatikal dan lebih bersifat hubungan kata dan makna. Elipsis (penghilangan) adalah proses penghilangan kata atau satuan-satuan kebahasaan lain. Bentuk atau unsur yang dilesapkan itu dapat diperkirakan ujudnya dari konteks luar bahasa (Kridalaksana, 1984: 40). Konjungsi atau kata sambung adalah bentuk atau satuan kebahasaan yang berfungsi sebagai penyambung, perangkai, atau penghubung antara kata dengan kata, frasa dengan frasa, klausa dengan klausa, kalimat dengan kalimat, dan seterusnya (Kridalaksana, 1984: 105 dan Tarigan, 1987: 101).
Kohesi leksikal adalah hubungan leksikal antara bagian-bagian wacana untuk mendapatkan keserasian struktur secara kohesif. Tujuan digunakannya aspek-aspek leksikal diantaranya adalah untuk mendapatkan efek intensitas makna bahasa, kejelasan informasi, dan keindahan bahasa lainnya.
D. Konsep Koherensi dalam Wacana
Menurut Pranowo (dalam Purwati, 2003: 21) koherensi adalah cara bagaimana komponen-komponen wacana yang berupa konfigurasi konsep dan hubungan menjadi relevan dan saling mengikat. Koherensi merupakan hubungan timbal balik yang baik dan jelas antara unsur-unsur yang membentuk kalimat itu, bagaimana hubungan antarsubyek dan predikat, hubungan antara predikat dan obyek, serta keterangan-keterangan lain yang menjelaskan unsur pokok tadi (Keraf dalam Purwati, 2003: 22).
Brown dan Yule (1986: 224) menegaskan bahwa koherensi berarti kepaduan dan keterpahaman antarsatuan dalam suatu teks atau tuturan. Dalam stuktur wacana, aspek koherensi sangat diperlukan keberadaannya untuk menata pertalian batinantara proposisi yang satu dengan lainnya untuk mendapatkan keutuhan. Keutuhan yang koheren tersebut dijabarkan oleh adanya hubungan-hubungan makna yang terjadi antarunsur secara semantik. Hubungan tersebut kadang kala terjadi dengan alat batu kohesi, namun kadang-kadang dapat terjadi tanpa bantuan alat kohesi, secara keseluruhan hubungan makna yang bersifat koheren menjadi bagian dari organisasi semantis.
Halliday (1976: 2) menegaskan bahwa pada dasrnya struktur wacana bukanlah struktur sintaksis, melainkan struktur semantik yakni semantik kalimat yang di dalamnya mengandund proposisi-proposisi. Beberapa kalimat akan menjadi wacana karena adanya hubungan makna atau arti antarkalimat itu sendiri.
Keberadaan unsur koherensi sebenarnya tidak pada satuan teks saja (secara formal), melainkan juga pada kemampuan pembaca atau pendengar dalam menghubung-hubungkan makna dan menginterpretasikan suatu bentuk wacana yang diterimanya. Jadi, kebermaknaan unsur koherensi terletak pada kelengkapannya yang serasi antara teks dengan pemahaman penutur atau pembaca (Brown, 1986: 224).
Pada dasarnya, hubungan koherensi adalah suatu rangkaian fakta dan gagasan yang teratur dan tersusun secara logis. Koherensi dapat terjadi secara implisit karena berkaitan dengan bidang makna yang memerlukan interpretasi. Harimurti (1984: 69) mengemukakan bahwa hubungan koherensi wacana sebenarnya adalah hubungan makna atau maksud. Artinya, antara kalimat bagian yang satu dengan kalimat lainnya secara semantis memiliki hubungan makna. Kajian mengenai koherensi dalam tataran analisis wacana merupakan hal mendasar dan relatif paling penting karena permasalahan pokok dalam analisis wacana adalah bagaimana mengungkapkan hubungan-hubungan yang rasional dan kaidah-kaidah tentang cara terbentuknya tuturan-tuturan yang koheren.
Suatu rangkaian kalimat dituntut bersifat gramatikal sekaligus berhubungan secara logis dan kontekstual. Dengan demikian analisis wacana juga merupakan analisis keruntutan dan kelogisan berfikir. Jadi, koherensi adalah kepaduan antarbagian secara batiniah. Bagian-bagian yang disebut proporsi tersebut membentuk jalinan semantik sehingga tersusun kesatuan makna yang utuh.













Penutup
Kesimpulan
Wacana merupakan satuan bahasa di atas tataran kalimat yang digunakan untuk berkomunikasi dalam konteks sosial. Satuan bahasa itu dapat berupa rangkaian kalimat atau ujaran. Wacana dapat berbentuk lisan atau tulis dan dapat bersifat transaksional atau interaksional. Dalam peristiwa komunikasi secara lisan, dapat dilihat bahwa wacana sebagai proses komunikasi antarpenyapa dan pesapa, sedangkan dalam komunikasi secara tulis, wacana terlihat sebagai hasil dari pengungkapan ide/gagasan penyapa. Disiplin ilmu yang mempelajari wacana disebut dengan analisis wacana. Analisis wacana merupakan suatu kajian yang meneliti atau menganalisis bahasa yang digunakan secara alamiah, baik dalam bentuk tulis maupun lisan. Sedangkan yang dimaksud dengan kohesi dn koherensi adalah
Istilah kohesi mengacu pada hubungan antarbagian dalam sebuah teks yang ditandai oleh penggunaan unsur bahasa sebagai pengikatnya. Kohesi merupakan salah satu unsur pembentuk koherensi. Oleh sebab itu, dalam sebuah teks koherensi lebih penting.Koherensi adalah kepaduan gagasan antarbagian dalam wacana. Kohesi merupakan salah satu cara untuk membentuk koherensi. Cara lain adalah menggunakan bentuk-bentuk yang mempunyai hubungan parataksis dan hipotaksis (parataxis and hypotaxis). Hubungan parataksis itu dapat diciptakan dengan menggunakan pernyataan atau gagasan yang sejajar (coordinative) dan subordinatif. Penataan koordinatif berarti menata ide yang sejajar secara beruntun

Semantik Pengkajian Homonim


lagu lucu

Minggu, 02 Januari 2011

makalah semantik tentang homonim

HOMONIM ING SAJRONe BANYOLAN
Zuly Kristanto
082114217
A. Purwaka
Homonim lumrahe bisa ditemokake ing sajrone cecaturan saben dina. Kadhangkala homonim bisa ndadekake jumbuh ing sajroning cecaturan. Iki disebabake amarga ing sajroning homonim nduweni tulisan kang padha lan pangucape kang padha. Pancen homonim ngono wujude sepele nanging ora bisa diarani yen homonim perkara kang sepele. Iki disebake amarga homonim uga bisa nuwuhake pralambang-pralambang kang manut karo konteks ing sajroning ukara. Saliyane iku homonim uga bisa nuwuhake rasa jumbuh ing sajroning cecaturan menawa durung diweruhi konteks apa kang ana ing sajroning ukara iku mau. Supaya ora ndadekake jumbuh marang apa kang dadi teges sing dikarepake dening pamicara tumrap pamidhanget wis samesthine kudu diweruhi apa kuwi sing diarani homonim.
Akeh banget perkara-perkara kang kedadeyan ing urip saben dina kang ana gegayutane karo homonim. Pekara kedadeyan homonim bisa ditemokake ing sajroning banyolan. Iki disebabake amarga materi kang dienggo ing sajroning banyolan yaiku gawe ngentha-ngentha basa utawa nggawe basa kang nduweni teges kang luwih saka siji. Anane tukang mbanyol gawe cara iki supaya bisa nuwuhake rasa lucu lan aweh panglipur.
Ngenani potensi homonim kang bisa ndadekake jumbuh tumrap mitra wicara ing sajroning pralambang-pralambang kang ana ing sajroning homonim durung dirembag kanthi cetha, mula saka kuwi ing kene bakal diandharake apa kang ndadekake teges kang jumbuh ing sajroning homonim. Ngenani homonim ing sajroning banyolan bakal diandharake kanthi cetha kanthi cara njlentrehake kedadeyan-kedadeyan homonim ing sajroning banyolan banjur dibacutake tuladha-tuladha kang bisa menehi ngerti marang pamaos ngenani apa kuwi homonim.




B. Andharan
1. Tegese Homonim
Homonim tembung loro kang nduweni pangucap kang padha nanging nduweni teges kang beda. Miturut basa asale homonim kedadeyan saka rong tembung yaiku basa Yunani kuno , anoma = jeneng lan homas = padha. Yen digandheng tembung homonimi nduweni teges jeneng sing padha nanging nduweni pangerten kang beda
Wis akeh para ahli kang ngandharake babagan homonim tuladhane kaya kang diandharake para ahli ing ngisor iki. Homonim yaiku ungkapan utawa pangucap (arupa tembung, frase, kalimat) kang nduweni bentuk padha karo pangucap liya (arupa tembung, frase, ukara) nanging tegese beda. (Verhaar,1987:135). Homonim yaiku tembung kang tulisan lan pangucape padha nanging durung mesthi padha tegese jalaran asale saka lingga kang beda. Dadi sing padha mung tulisan lan pangucapane (Sasangka; 2008:227). Miturut Pateda (2001:211) yaiku sesebutan (tembung, gatra utawa ukara) kang nduweni wujud padha karo tembung, gatra utawa ukara liyane, nanging nduweni teges kang beda antarane siji lan liyane. Miturut Chaer (1995:93) tembung homonim asale saka tembung onoma kang nduweni teges “sesebutan” lan homo kang nduweni teges “padha”, dadi homonim bisa diwenehi teges sebutan kang padha kanggo barang utawa babagan liyane.
Saka andharane para ahli mau bisa diweruhi yen homonim nduweni pangerten kang padha. Nanging ana ahli kang negesi homonim beda karo andhrane para ahli ing dhuwur mau. Yen miturut Tarigan (1993:30), kang diarani homonim yaiku tembung loro utawa luwih kang unine padha, nanging tegese beda, utawa tembung loro kang padha pangucape, nanging nduweni teges kang beda.
Ing makalah iki ora sarujuk karo panemune Tarigan (1993:30), amarga yen ditegesi kaya mangkono bisa ndadekake jumbuh antarane homonim lan polisemi.
Miturut apa kang diandharake ing ndhuwur bisa kadudut kang dadi titikane homonim yaiku:





Homo padha

jeneng kang padha
Onama jeneng

Dene kang dadi wewatesane homonim yaiku saka tembung-tembung dialek (wernane basa), ragam basa (antarane ngoko lan krama) lan basa siji lan sijine (basa Indonesia lan basa Jawa). Andharan ing ngisor iki bakal ngandharake apa wae homonim kang ana ing sajroning banyolan.
Tuladhane
mawa
mawa
mawa
Tuladha ing sajroning ukara
a. Tulisen mawa aksara jawa.
b. Areng sing isih mawa iku panas banget.
Tembung mawa ing nduwur iku pancen nduweni pangucap lan tulisane kang padha nanging tembung mawa ing ndhuwur nduweni teges kang beda. Mawa kang sepisan nduweni teges nganggo dene ing ukara kapindho nduweni teges nggeni.

2. Tegese lawakan
Miturut kamus basa Indonesia Indonesia lawak wicara utawa nindakake samubarang kang bisa nuwuhake rasa lucu.
Lawakan iki kerep ditemokake ing sajroning pagelaran ludruk utawa ketoprak. Cara nindakake lawakan iki bisa diperang dadi papat yaiku:
1) lelucon yaiku carane nglawak kanthi cara ndadekake samubarang kang ora lucu lan dipeksa amrih bisa lucu lan mokal anane.
2) Banyolan yaiku carane nglawak nganggo materi babagan uthak-athik basa.
Tuladhane nganggo tembung-tembung homonim utawa polisemi.
3) dhagelan yaiku cara sing digawe ndagel sing khas kang diduweni pelawak tuladhane cara ndagele monok sing menehi panambang “s” ing tembung sing diucapake.

4) Plesedan yaiku carane ndagel kanthi cara mlesedake teges kang ana ing sajroning tembung kanthi tembung liya sing dianggep cedhek pambedane.
Tuladhane : Bapak taksih sare iki yen diplesetake dadi bapak taksih pare.

3. Jinis-jinise homonim
Yen miturut para ahli basa ing nduwur homonim bisa dibedakake dadi telu yaiku homonim, homograf lan homofon. Sarehne ing basa jawa ora ditemokake homofon ing kene ora diandharake babagan homofon. Dene kang diarani homograf yaiku tembung loro kang padha tulisane nanging beda ing pangucapane. Iki padha karo andharane para ahli basa ngenani homograf kayata andharan kang ana ing ngisor iki. Bedane homograf karo homonim yaiku yen ing homograf iku sing padha mung wujud panulise lan beda ing pangucape dene yen ing saroning homonim iku padha tulisan lan pangucape.
Padha dene karo homonim, homograf uga nduweni teges kang werna-werna, nanging intine padha. Miturut ahli, homograf yaiku: Miturut Chaer (1995: 93), homograf yaiku tembung kang padha tulisane, nanging beda pangucapan lan tegese. Dene miturut Suwandi (2006:109), homograf yaiku gegayutan antarane tembung-tembung kang beda tegese, nanging padha tulisane. Homograf yaiku tembung kang homografi karo tembung liyane. Semono uga miturut Sasangka (2008:230), homograf yaiku tembung loro utawa luwih kang padha panulise lan beda pangucape. Dene Pateda nduweni panemu kang beda ngenani homograf yaiku yen miturut Pateda homograf yaiku tembung loro kang tulisan lan pangucape padha.
4. Jinise Homonim ing Sajroning Banyolan
Tukang mbanyol kerep mbanyol gawe homonim. Iki disebabake amarga homonim nduweni teges kang luwih saka siji. Mula saka kuwi para lawak kerep gawe tembung-tembung kang nduweni luwih saka siji. Iki dikarepake ndadekake jumbuh marang pawongan kang dadi pangurungune yen ora dicethakake konteks kang ana ing sajroning ukara mau. Rasa jumbuh iki tuwuh saka tembung-tembung kang kalebu homonim kang manggon ing sanjabane konteks kang salugune. Iki pancen disengaja dening pelawak utawa dagelan mau supaya nuwuhake rasa lucu ing sajroning cecaturan. Anane dagelan kang nggunakake istilah-istilah homonim iku wis bisa ndadekake kita minangka pangrungu supaya bisa mangerteni kalebu ing ngendi tembung-tembung kang sinebutake iku mau.
1). pedhes
Tuladhane ing ukara
a. Ti, tuku rujake nanging aja pedhes nemen ya!
b. Nek rumangsamu omonganku pedhes kono ngombeya banyu.
Tembung pedhes iku salugune mujudake sawijining rasa kang dirasakake ilat. Nanging yen dilebokakake ing sajroning homonim pedhes bisa dadi rasa mangkel. Amarga pedhes ing ukara kapindho nduweni teges omongan kang bisa nuwuhake raosa mangkel. Saliyane tembung pedhes ing nduwur uga bisa diweruhi bedane saka perangane awak kang ngrasakake. Rasa pedhes sing dimaksud ing ukara kang sepisan yaiku dirasakake dening ilat dene pedhes ing ukara kang kapindho iku dirasakake dening ati.
2) panas
a. Panas-panas ngene iki paling enak ngombe es.
b. Yen atimu panas krasa guyangen banyu.
Tembung panas ing ukara ing ndhuwur senajan tulisan lan pangucape beda nanging tembung loro mau duwe teges kang beda. Kang ndadekake pambeda ing tembung loro mau yaiku saka perangane awak kang ngrasakake lan teges kang ana ing ukara kaloron mau. Panas ing ukara kang kapisan mujudake tembung wantah dadi ora ana tegese mung nuduhake kahanan lan perangane awak kang ngrasakake rasa iki yaiku kulit. Dene panas ing ukara kang kapindho mujudake tembung entar kang duwe teges rasa mangkel lan perangane awak kang ngrasakake rasa panas ing ukara kapindho yaiku ati. Tembung panas ing ukara kapindho iki mujudake sawijining rasa pangrasaning ati.
3) ngukuri
Tuladhane ing ukara
a. Apa lurahe wis gendheng kok ngukuri lemah ing mburi omah.
b. Pak lurah ngukuri geger ing mburi omah.
Senajan tembung ngukur ing kene kalebu tembung kriya ananging tembung ngukuri iki nduweni teges kang beda. Iki dijalari tembung kaloron iku mau asale saka tembung lingga kang beda. Tembung ngukuri ing ukara sepisan asale saka lingga ukur lan oleh ater-ater anuswara [n] lan panambang [-i]. Dene tembung ngkukuri ing ukara kapindho asale saka lingga kukur banjur oleh ater-ater anuswara [n] lan panambang [-i]. Saliyane iku tembung loro iku mau uga nduweni pambeda ing piranti kang digawe nindakake pakaryan iku mau. Ngukur ing ukara sepisan migunakake piranti ukur dene ngukur ing ukara kapindho nggunakake piranti kukur. Tembung ngukur ing dhuwur bakal nuwuhake rasa jumbuh jumbuh marang mitra wicara menawa durung cetha apa sing dikenani ngukuri iku dhewe.
3) gatel
a. Kupingku gatel amarga kena ulune uler lintang.
b. Kupingku gatel krungu omonganmu sing wingi.
Tembung gatel ing ukara ing ngisor iki nduweni teges kang beda. Tembung gatel ing ukara kang sepisan klebu tembung wantah dene tembung gatel ing ukara kapindho mujudake pralambang kanggo negesi surasane ati kang lagi mangkel. Tembung gatel ing ukara kang sepisan kang ngrasakake rasa gatel yaiku kulit. Dene gatel ing ukara kapindho kang ngalami rasa gatel yaiku ati. Senajan ing ukara kapindho kang krasa gatel iku kupinge iku ngono sawijining pralambang kanggo nglambangake surasane ati kang lagi mangkel. Dadi sadurunge negesi maksud kang dikarepake kudu luwih dhisik mangerteni konteks ukara iku mau kepriye. Amarga tembung kupingku gatel iku bisa nuwuhake rasa jumbuh yen ora cetha kontekse.
4) rusuh
Tuladhane ing ukara.
a. Jogane lho rusuh, mula saponana.
b. Nek omonganmu pancet rusuh, taksaponi lambemu pisan.
Tembung rusuh ing ukara kapisan ing ukara kang sepisan mujudake tembung kahanan dene tembung rusuh kang ana ukara kapindho mujudake pralambang. Pralambang ing ukara kapindho digunakake kanggo nglambangake babagan-babagan kang dianggep wus nerak trap-trape kasusilan.
5) sungu
a. Sungune wedhusku tugel.
b. Kuping apa sungu diceluk meneng wae.
Sungu ing ukara kang kapisan nuduhake piranti gamane kewan. Dene sungu ing ukara kang ana ing ukara kapindho mujudake pralambang kanggo nglambangake sipate bocah kang ndableg. Pralambang iki kerep disebutake dening wong tuwa nalika meruhi anake angel dikandhani.

6) canthelan
a. Canthelan klambiku dijupuk Agus
b. Kuping apa canthelan diceluk meneng wae.
Tembung canthelan ing ukara kang kapisan mujudake arane piranti kanggo nyanthelake klambi. Dene canthelan ing ukara kang kapindho ngono mung pralambang kangggo pawongan kang ndableg. Kuping kang dipadakake karo canthelan mujudake pralambang kanggo nggambarake pawongan kang ora enggal semaur yen ana pawongan kang nyeluk dheweke.

7) suku
a. Sukunipun bapak sakit.
b. Amrih bisa muni “u” tambahana suku.
Suku kang ana ing ukara kang sepisan mujudake sawijining perangane awak dene suku kang ana ing ukara kang kapindho mujudake sawijining sandhangan kang ana ing aksara jawa.

8) sandhangan
a. Sandhanganmu kuwi ndang umabahen ambune wis lebus!
b. Suku kuwi klebu sandhangan ing aksara jawa.
Sandhangan kang ana ing ukara kang sepisan duwe teges klambi dene sandhangan kang ana ing ukara kapindho nduweni teges arane pasangan ing sajroning aksara jawa.
9) mangan ati
a. Omonganmu kok gawe mangan ati.
b. Ngene iki sing paling enak mangan ati goreng.
Mangan ati ing ukara kang kapisan nuduhake basa entar kang duwe teges gawe kuciwa. Dene mangan ati ing ukara kang kapindho mujudake tembung wantah kang duwe teges mangan jerohan kang rupa ati.

10) ngeres.
a. Jogan ngeres kaya ngene ora gelem nyaponi.
b. Utekmu saponana dhisik supaya ora ngeres terus.
Tembung ngeres ing ukara kang kapisan mujudake kahanan sawijining panggonan. Ngeres ing ukara kang kapisani teges reged. Dene ngeres kang ana ing ukara kapindho mujudake pralambang kang digunakake kanggo nglambangake pikirane sawijining pawongan kang wus nerak angger-anggere trap kasusilan, utawa mikir samubarang kang dianggep saru.

11) miring
a. Ancene bocah nek uteke miring ya ngono iku.
b. Topimu iku miring mula benerna dhisik.
Miring ing ukara kapisan mujudake sawijining pralambang kang digunakake kanggo nglambangake kahanane pamikire pawongan kang dianggep wis ora lumrah. Dene miring ing ukara kapindho mujudake sawijining kahanane barang kang kurang gumathuk.

12) kecut
a. Pelem sing isih enom iku rasane kecut.
b. Ambumu kok kecut banget to!
Kecut ing ukara kang kapisan mujudake arane rasa kang diduweni woh-wohan sing durung mateng. Dene kecut ing ukara kang kapindho mujudake sawijining jinise ambu.




13) pecel
a. Ti, lelene kae pecelen.
b. Pecelen lele kae.
Tembung pecel ing dhuwur kalebu homograf jalaran panulise padha lan pangucape beda. Tembung iki ora ndadekake jumbuh menawa dilisanake nanging tembung pecel iki ndadekake jumbuh menawa ana ing sajroning tata tulis.
14) randha royal
a. Aku ditukokake si Mbah randha royal.
b. Randha royal ngarep ngomah kae ayu ya?
Randha royal kang ana ing ukara kang kapisan mujudake arane panganan. Dene randha royal ing ukara kang kapindho mujudake sawijining pralamabang. Pralambang iki digunakake kanggo nglambangake sawijining pawongan kang duwe status sosiale randha lan sipate loman.
15) njaluk
a. Man, aku njaluk dhuwite!
b. Ri, anakmu takjaluk, arep takwenehke anaku oleh?
Njaluk ing ukara kapisan kedadeyan saka tembung jaluk kang oleh ater-ater anuswara lan mujudake sawijining tembung kriya kang duwe teges pengin nduweni samubarang kanthi cara jejaluk. Dene njaluk ing ukara kang kapindho senajan padha-padha saka lingga jaluk lan oleh ater-ater anuswara nanging njaluk ing ukara kapindho mujudake tembung entar kang nduweni teges pengen ndadekake anake liyan dadi mantune.
C. Dudutan
Homonim yaiku tembung loro utawa luwih kang nduweni pangucap lan tulisan kang padha. Nanging kang mbedakake siji lan sijne yaiku ing tegese. Ing jerone teges iku mau uga bisa diweruhi yen homonim uga nduweni pambeda ing sajroning nindakake pakaryan utawa ing jinising aran. Supaya ora ndadekake jumbuh ing sajroning cecaturan samesthine kita mangerteni konteks sing dimaksud ing sajroning homonim iku dhewe.
Pancen ing sajroning lawakan utamane ing sajroning banyolan akeh banget ditemokake anane homonim. Iki disebabake saka wujude homonim iku dhewe padha ing tulisane lan beda ing tegese. Anane homonim nduweni teges kang beda iki ora ana panyebabe mung amarga katepakan wae. Saengga ora kabeh tembung bisa didadekake homonim. Iki beda banget karo polisemi, ing sajroning polisemi sawijining tembung bisa dientha-entha saengga bisa kalebu ing sajroning polisemi.
Saka andharan kang ana ing dhuwur bisa didudut yen homograf tembung loro kang nduweni tulisane kang padha nanging pangucape beda. Kanggo meruhi kepriye swara kang sebenere ing homograf kudu ditulis nganggo tulisan fonetis. Saliane iku kang dadi njalari pambeda ing sajroning homograf yaiku disebabake amarga ana beda pangucap ing sajroning aksara e. Ing basa jawa aksara {e} bisa diwaca {ϵ} lan uga bisa diwaca {ә}. Mula saka kuwi ing sajronig homograf kang ndadekake jumbuh ing sajroning ngucapake tembung kang nduweni tulisane kang padha nanging beda pangucap dijalari saka perkara ing ndhuwur mau.

KAPUSTAKAN
Chaer, Abdul.1990. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta : Rineka Cipta
Pateda, Mansoer. 1989. Semantik Leksikal. Ende : Nusa Indah
Sasangka,Wisnu,S.S.T.2008. Paramasastra Jawa Gagrag Anyar. Surabaya: PT Citra Jaya Murti
Verhaar,J.W.M.1983.Pengantar Linguistik. Yogyakarta: Gajah Mada University Press
Suwandi, Sarwiji. 2008. Semantik Pengantar Kajian Makna. Yogyakarta: Media Perkasa

Rabu, 08 Desember 2010

makalah analisis wacana

Pembahasan

A. Pengertian Wacana
Wacana adalah satuan bahasa terlengkap, dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar. Wacana ini direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh (novel, buku, seri ensiklopedia, dan sebagainya), paragraf atau kata yang membawa amanat yang lengkap.
Wacana adalah kata yang sering dipakai masyarakat dewasa ini. Banyak pengertian yang merangkai kata wacana ini. Dalam lapangan sosiologi, wacana menunjuk terutama dalam hubungan konteks sosial dari pemakaian bahasa. Dalam pengertian linguistik, wacana adalah unit bahasa yang lebih besar daripada kalimat. Sedangkan menurut Michael Foucault (1972), wacana; kadang kala sebagai bidang dari semua pernyataan (statement), kadang kala sebagai sebuah individualisasi kelompok pernyataan, dan kadang kala sebagai praktik regulatif yang dilihat dari sejumlah pernyataan.
Menurut Eriyanto (Analisis Wacana, Pengantar Analisis Teks Media), Analisis Wacana dalam studi linguistik merupakan reaksi dari bentuk linguistik formal (yang lebih memperhatikan pada unit kata, frase, atau kalimat semata tanpa melihat keterkaitan di antara unsur tersebut). Analisis wacana adalah kebalikan dari linguistik formal, karena memusatkan perhatian pada level di atas kalimat, seperti hubungan gramatikal yang terbentuk pada level yang lebih besar dari kalimat. Analisis wacana dalam lapangan psikologi sosial diartikan sebagai pembicaraan. Wacana yang dimaksud di sini agak mirip dengan struktur dan bentuk wawancara dan praktik dari pemakainya. Sementara dalam lapangan politik, analisis wacana adalah praktik pemakaian bahasa, terutama politik bahasa. Karena bahasa adalah aspek sentral dari penggambaran suatu subyek, dan lewat bahasa ideologi terserap di dalamnya, maka aspek inilah yang dipelajari dalam analisis wacana.
Ada tiga pandangan mengenai bahasa dalam bahasa. Pandangan pertama diwakili kaum positivisme-empiris. Menurut mereka, analisis wacana menggambarkan tata aturan kalimat, bahasa, dan pengertian bersama. Wacana diukur dengan pertimbangan kebenaran atau ketidakbenaran menurut sintaksis dan semantik (titik perhatian didasarkan pada benar tidaknya bahasa secara gramatikal) — Analisis Isi (kuantitatif)
Pandangan kedua disebut sebagai konstruktivisme. Pandangan ini menempatkan analisis wacana sebagai suatu analisis untuk membongkar maksud-maksud dan makna-makna tertentu. Wacana adalah suatu upaya pengungkapan maksud tersembunyi dari sang subyek yang mengemukakan suatu pertanyaan. Pengungkapan dilakukan dengan menempatkan diri pada posisi sang pembicara dengan penafsiran mengikuti struktur makna dari sang pembicara. –Analisis Framing (bingkai)
Pandangan ketiga disebut sebagai pandangan kritis. Analisis wacana dalam paradigma ini menekankan pada konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. Bahasa tidak dipahami sebagai medium netral yang terletak di luar diri si pembicara. Bahasa dipahami sebagai representasi yang berperan dalam membentuk subyek tertentu, tema-tema wacana tertentu, maupun strategi-strategi di dalamnya. Oleh karena itu analisis wacana dipakai untuk membongkar kuasa yang ada dalam setiap proses bahasa; batasan-batasan apa yang diperkenankan menjadi wacana, perspektif yang mesti dipakai, topik apa yang dibicarakan. Wacana melihat bahasa selalu terlibat dalam hubungan kekuasaan. Karena memakai perspektif kritis, analisis wacana kategori ini disebut juga dengan analisis wacana kritis (critical discourse analysis). Ini untuk membedakan dengan analisis wacana dalam kategori pertama dan kedua (discourse analysis).

Tarigan (1987: 27) mengungkapkan bahwa wacana adalah satuan bahasa yang terlengkap dan tertinggi atau terbesar di atas kalimat atau klausa dengan kohesi dan koherensi tinggi yang berkesinambungan yang mempunyai awal dan akhir yang nyata disampaikan secara lisan maupun tertulis. Menurut Crystal (dalam Nunan, 1993: 5), wacana adalah kesatuan bahasa yang lebih besar dari kalimat dan membentuk unit yang koheren, misalnya ceramah, pendapat, lelucon, atau narasi.
Wacana merupakan unit bahasa yang terkait oleh satu kesatuan. Kesatuan dalam wacana menurut Halliday (dalam Purwati, 2003: 16) bersifat semantis. Wacana tidak selalu harus direalisasikan dalam bentuk rangkaian kalimat. Wacana adalah satuan bahasa yang komunikatif, yaitu yang sedang menjalankan fungsinya. Ini berarti wacana harus mempunyai pesan yang jelas dan dengan dukungan situasi komunikasinya, bersifat otonom, dan dapat berdiri sendiri. Dengan demikian, pemahaman wacana haruslah memperhitungkan konteks situasinya, karena hal itu akan memengaruhi makna wacana.
Menurut Darjowidjojo (dalam Hartono, 2000: 142), dalam komunikasi verbal, baik yang monolog maupun yang dialog, salah satu syarat penting yang harus diperhatikan adalah kesinambungan porposisi yang diajukan. Kodrat kesinambungan dalam monolog berbeda dengan kodrat yang ada pada dialog karena dalam monolog si pembicara atau penulis tidak perlu memperhatikan tanggapan verbal yang dinyatakan oleh pembicara atau lawan bicaranya. Kesinambungan ini kadang-kadang mempunyai manifestasi fonetis yang eksplisit, tetapi kadang-kadang juga hanya terwujudkan dalam suatu implikatur yang sifatnya circumstansial.
Menurut Longacre (dalam Hartono, 2000: 143) sebuah perpaduan menyangkut dua lokus. Pertama, dalam struktur batin (nosional deep structure) haruslah terdapat keserasian antara satu nosi di satu kalimat dan nosi di kalimat yang lain. Kedua, perpaduan dan pertalian nosi-nosi harus mempunyai manifestasi fonetis pada struktur lahir (surface structure).
Menurut Beaugrande (1981: 3), suatu wacana mempunyai ciri-ciri berupa koherensi, kohesi, maksud pengirim, keberterimaan, memberikan informasi, situasi pengujaran, dan intertekstualitas. Dalam bidang makna, setiap kalimat dalam paragraf menyampaikan suatu informasi. Informasi pada kalimat satu berhubungan dengan kalimat lain sehingga paragraf membentuk kesatuan informasi yang padu (Ramlan, 1993: 41). Sedangkan bentuk pertalian antarinformasi yang dinyatakan pada kalimat satu dengan informasi kalimat yang lainnya adalah penjumlahan, perturutan, perlawanan atau pertentangan, lebih, sebab akibat, waktu, syarat, cara, kegunaan, dan penjelasan.

B. Kohesi dan Koherensi
Kohesi dan koherensi dalam wacana merupakan salah satu unsur pembangun wacana selain tema, konteks, unsur bahasa, dan maksud. Kohesi adalah keserasian hubungan antara unsur-unsur yang satu dengan yang lain dalam wacana, sehingga tercipta pengertian yang baik (Djajasudarma, 1994: 47). Kohesi dan koherensi juga merupakan syarat terbentuknya suatu wacana selain syarat lain, yaitu topik.
Koherensi tidak harus selalu dicapai dengan bantuan kohesi (Alwi et.al. dalam Hartono, 2000: 144). Akan tetapi, kohesi dapat merupakan pendukung terjadinya koherensi. Kohesi adalah pertautan makna, sedangkan koherensi adalah keruntutan makna. Kohesi harus dibedakan pada tingkat wacana (proposisi) dan teks (bentuk). Koherensi hanya pada tingkat wacana. Koherensi ditentukan oleh kerangka acuan wacana.
C. Konsep Kohesi dalam Wacana
Kohesi merupakan aspek formal bahasa dalam wacana. Kohesi juga merupakan organisasi sintaksis dan merupakan wadah bagi kalimat yang disusun secara padu dan padat untuk menghasilkan tuturan (Tarigan, 1987: 96). Pengetahuan strata dan penguasaan kohesi yang baik memudahkan pemahaman tentang wacana. Wacana bernar-benar bersifat kohesif apabila terdapat kesesuaian secara bentuk bahasa terhadap konteks (James dalam Tarigan, 1987: 97).
Konsep kohesi mengacu pada hubungan bentuk. Artinya, unsur-unsur (kata atau kalimat) yang digunakan untuk menyusun suatu wacana memiliki keterkaitan yang padu dan utuh. Dengan kata lain, kohesi adalah aspek internal dari struktur wacana. Tarigan (1987: 96) menambahkan bahwa penelitian terhadap unsur kohesi adalah bagian dari kajian tentang aspek formal bahasa, dengan organisasi dan struktur kewacanaanya yang berkonsentrasi pada dan bersifat sintaksis gramatikal.
Wacana yang baik dan utuh adalah jika kalimat-kalimatnya bersifat kohesif. Hanya melalui hubungan yang kohesif, maka ketergantungannya pada unsur-unsur lainnya. Hubungan kohesif khusus yang bersifat lingual-formal. Selanjutnya, Halliday (1976: 4) mengemukakan bahwa unsur-unsur kohesi wacana terdiri atas dua jenis, yaitu kohesi gramatikal dan kohesi leksikal. Unsur-unsur kohesi gramatikal terdiri dari reference (referensi), substitution (substitusi), ellipsis (elipsis), dan conjunction (konjungsi), sedangkan unsur-unsur kohesi leksikal terdiri atas reiteration (reiterasi) dan collocation (kolokasi).
Referensi atau penunjukan merupakan bagian kohesi gramatikal yang berkaitan dengan penggunaan kata atau kelompok kata untuk menunjuk kata atau kelompok kata atau satuan gramatikal lainnya (Ramlan dalam Mulyana, 2005: 133). Dalam konteks wacana, penunjukan terbagi atas dua jenis yaitu penunjukan eksoforik (di luar teks) dan penunjukan endoforik (di dalam teks). Dalam aspek referensi, terlihat juga adanya bentuk-bentuk pronomina (kata ganti orang, kata ganti tempat, dan kata ganti lainnya).
Substitusi (penggantian) adalah proses dan hasil penggantian unsur bahasa oleh unsur lain dalam satuan yang lebih besar. Proses substitusi merupakan hubungan gramatikal dan lebih bersifat hubungan kata dan makna. Elipsis (penghilangan) adalah proses penghilangan kata atau satuan-satuan kebahasaan lain. Bentuk atau unsur yang dilesapkan itu dapat diperkirakan ujudnya dari konteks luar bahasa (Kridalaksana, 1984: 40). Konjungsi atau kata sambung adalah bentuk atau satuan kebahasaan yang berfungsi sebagai penyambung, perangkai, atau penghubung antara kata dengan kata, frasa dengan frasa, klausa dengan klausa, kalimat dengan kalimat, dan seterusnya (Kridalaksana, 1984: 105 dan Tarigan, 1987: 101).
Kohesi leksikal adalah hubungan leksikal antara bagian-bagian wacana untuk mendapatkan keserasian struktur secara kohesif. Tujuan digunakannya aspek-aspek leksikal diantaranya adalah untuk mendapatkan efek intensitas makna bahasa, kejelasan informasi, dan keindahan bahasa lainnya.
D. Konsep Koherensi dalam Wacana
Menurut Pranowo (dalam Purwati, 2003: 21) koherensi adalah cara bagaimana komponen-komponen wacana yang berupa konfigurasi konsep dan hubungan menjadi relevan dan saling mengikat. Koherensi merupakan hubungan timbal balik yang baik dan jelas antara unsur-unsur yang membentuk kalimat itu, bagaimana hubungan antarsubyek dan predikat, hubungan antara predikat dan obyek, serta keterangan-keterangan lain yang menjelaskan unsur pokok tadi (Keraf dalam Purwati, 2003: 22).
Brown dan Yule (1986: 224) menegaskan bahwa koherensi berarti kepaduan dan keterpahaman antarsatuan dalam suatu teks atau tuturan. Dalam stuktur wacana, aspek koherensi sangat diperlukan keberadaannya untuk menata pertalian batinantara proposisi yang satu dengan lainnya untuk mendapatkan keutuhan. Keutuhan yang koheren tersebut dijabarkan oleh adanya hubungan-hubungan makna yang terjadi antarunsur secara semantik. Hubungan tersebut kadang kala terjadi dengan alat batu kohesi, namun kadang-kadang dapat terjadi tanpa bantuan alat kohesi, secara keseluruhan hubungan makna yang bersifat koheren menjadi bagian dari organisasi semantis.
Halliday (1976: 2) menegaskan bahwa pada dasrnya struktur wacana bukanlah struktur sintaksis, melainkan struktur semantik yakni semantik kalimat yang di dalamnya mengandund proposisi-proposisi. Beberapa kalimat akan menjadi wacana karena adanya hubungan makna atau arti antarkalimat itu sendiri.
Keberadaan unsur koherensi sebenarnya tidak pada satuan teks saja (secara formal), melainkan juga pada kemampuan pembaca atau pendengar dalam menghubung-hubungkan makna dan menginterpretasikan suatu bentuk wacana yang diterimanya. Jadi, kebermaknaan unsur koherensi terletak pada kelengkapannya yang serasi antara teks dengan pemahaman penutur atau pembaca (Brown, 1986: 224).
Pada dasarnya, hubungan koherensi adalah suatu rangkaian fakta dan gagasan yang teratur dan tersusun secara logis. Koherensi dapat terjadi secara implisit karena berkaitan dengan bidang makna yang memerlukan interpretasi. Harimurti (1984: 69) mengemukakan bahwa hubungan koherensi wacana sebenarnya adalah hubungan makna atau maksud. Artinya, antara kalimat bagian yang satu dengan kalimat lainnya secara semantis memiliki hubungan makna. Kajian mengenai koherensi dalam tataran analisis wacana merupakan hal mendasar dan relatif paling penting karena permasalahan pokok dalam analisis wacana adalah bagaimana mengungkapkan hubungan-hubungan yang rasional dan kaidah-kaidah tentang cara terbentuknya tuturan-tuturan yang koheren.
Suatu rangkaian kalimat dituntut bersifat gramatikal sekaligus berhubungan secara logis dan kontekstual. Dengan demikian analisis wacana juga merupakan analisis keruntutan dan kelogisan berfikir. Jadi, koherensi adalah kepaduan antarbagian secara batiniah. Bagian-bagian yang disebut proporsi tersebut membentuk jalinan semantik sehingga tersusun kesatuan makna yang utuh.













Penutup
Kesimpulan
Wacana merupakan satuan bahasa di atas tataran kalimat yang digunakan untuk berkomunikasi dalam konteks sosial. Satuan bahasa itu dapat berupa rangkaian kalimat atau ujaran. Wacana dapat berbentuk lisan atau tulis dan dapat bersifat transaksional atau interaksional. Dalam peristiwa komunikasi secara lisan, dapat dilihat bahwa wacana sebagai proses komunikasi antarpenyapa dan pesapa, sedangkan dalam komunikasi secara tulis, wacana terlihat sebagai hasil dari pengungkapan ide/gagasan penyapa. Disiplin ilmu yang mempelajari wacana disebut dengan analisis wacana. Analisis wacana merupakan suatu kajian yang meneliti atau menganalisis bahasa yang digunakan secara alamiah, baik dalam bentuk tulis maupun lisan. Sedangkan yang dimaksud dengan kohesi dn koherensi adalah
Istilah kohesi mengacu pada hubungan antarbagian dalam sebuah teks yang ditandai oleh penggunaan unsur bahasa sebagai pengikatnya. Kohesi merupakan salah satu unsur pembentuk koherensi. Oleh sebab itu, dalam sebuah teks koherensi lebih penting.Koherensi adalah kepaduan gagasan antarbagian dalam wacana. Kohesi merupakan salah satu cara untuk membentuk koherensi. Cara lain adalah menggunakan bentuk-bentuk yang mempunyai hubungan parataksis dan hipotaksis (parataxis and hypotaxis). Hubungan parataksis itu dapat diciptakan dengan menggunakan pernyataan atau gagasan yang sejajar (coordinative) dan subordinatif. Penataan koordinatif berarti menata ide yang sejajar secara beruntun

makalah semantik

Rasa jumbuh ingf sajroning homonim

Zuly Kristanto
082114217

A. Purwaka
Homonim lumrahe bisa ditemokake ana ing sajrone cecaturan saben dina. Kadhangkala homonim bisa ndadekake jumbuhe pangerten ing sajroning cecaturan. Iki disebabake amarga ing sajroning homonim nduweni panulis kang padha lan pangucap kang padha uga. Pancen homonim ngono wujude sepele ananging kita ora bisa ngarani yen homonim perkara kang sepele. Iki disebake amarga yen antarane pamicara lan pamidhanget ora ngerti anane homonim bakal nuwuhake pangerten kang jumbuh ing sajroning cecaturan. Supaya ora ndadekake salah pangerten marang apa kang dadi teges sing dikarepake dening pamicara tumrap pamidhanget wis samesthine kita meruhi apa kuwi sing diarani homonim. Akeh banget perkara-perkara kang kedadeyan ing urip saben dina kang ana gegayutane karo homonim.. Ngenani potensi homonim kang bisa ndadekake jumbuhing cecaturan durung dirembag kanthi cetha, mula saka kuwi ing kene bakal diandharake apa kang dadekake teges kang jumbuh ing sajroning homonim kanthi dhasar panulise lan apa teges kang sanyatane. Ngenani potensi homonim kang bisa ndadekake rasa jumbuh ing sajroning cecaturan bakal dirembag kanthi cetha kanthi cara njlentrehake kedadeyan-kedadeyan homonim kang bisa nyebabake jumbuhing pangerten banjur dibacutake tuladha-tuladha kang bisa menehi pangerten marang pamaos ngenani apa kuwi homonim.





A. ANDHARAN
1. Tegese Homonim
Homonim yaiku sawijining ilmu semantik kang ngrembag babagan tembung loro kang nduweni pangucap kang padha nanging nduweni teges kang beda. Miturut basa asale homonim kedadeyan saka rong tembung yaiku basa Yunani Kuno , anoma = jeneng lan homas = padha. Yen digandheng tembung homonimi nduweni teges jeneng sing padha nanging nuweni pangerten kang beda
Wis akeh para ahli kang ngandharake babagan homonim tuladhane kaya kang diandharake para ahli ing ngisor iki. Homonim yaiku ungkapan utawa pangucap (arupa tembung, frase, kalimat) kang nduweni bentuk padha karo pangucap liya (arupa tembung, frase, kalimat ) nanging tegese beda. (verhaar,1987:135). Homonim yaiku tembung kang panulis lan pangucape padha nanging durung mesthi padha tegese jalaran asale saka tembung kang bedha. Dadi sing padha mung panulis lan pangucapane (Sasangka; 2008:227). Miturut Pateda (2001:211) yaiku sesebutan (tembung, gatra utawa ukara) kang duweni wujud padha karo tembung, gatra utawa ukara liyane, nanging nduweni teges kang beda antarane siji lan liyane.Miturut Chaer (1995:93) tembung homonim asale saka tembung onoma kang nduweni teges “sesebutan” lan homo kang duweni teges “padha”, dadi homonim bisa diwenehi teges sesebutan kang padha kanggo barang utawa babagan liyane.
Saka andharane para ahli mau bisa diweruhi yen homonim nduweni pangerten kang padha. Nanging ana ahli kang negesi homonim beda karo andhrane para ahli ing dhuwur mau. Yen miturut Tarigan (1993:30), kang diarani homonim yaiku tembung loro utawa luwih kang unine padha, nanging tegese beda, utawa tembung loro kang padha pangucape, nanging nduweni teges kang beda.
Ing makalah iki ora sarujuk karo panemune Tarigan (1993:30), amarga yen ditegesi kaya mangkono bisa ndadekake jumbuh antarane homonim lan polisemi.
Miturut apa kang diandharake ing ndhuwur bisa kadudut kang dadi titikane homonim yaiku:

Homo padha

jeneng kang padha
Onama jeneng

Dene kang dadi wewatesane homonim yaiku saka tembung-tembung dialek (wernane basa), ragam basa (antarane ngoko lan krama) lan basa siji lan sijine (basa Indonesia lan basa Jawa). Andharan ing ngisor iki bakal ngandharake apa wae kang ndadekake jumbuhing pangucap ing sajroning homonim.
Tuladhane
mawa
(1) mawa
mawa
Tuladha ing sajroning ukara
a. Tulisen mawa aksara jawa.
b. Areng sing isih mawa iku panas banget.
Tembung mawa ing nduwur iku pancen nduweni pangucap lan panulisan kang padha nanging tembung mawa ing ndhuwur nduweni teges kang bedha. Mawa kang sepisan nduweni teges nganggo dene ing ukara kapindho nduweni teges nggeni.
2. Jinis-jinise homonim
Yen miturut para ahli basa ing nduwur homonim bisa dibedakake dadi telu yaiku homonim, homograf lan homofon. Sarehne ing basa jawa ora ditemokake homofon panulis ora ngrembag babagan homofon. Dene kang diarani homograf yaiku tembung loro kang padha nanging bedha ing pangucape. Iki padha karo andharane para ahli basa ngenani homograf kayata andharan kang ana ing ngisor iki. Homonim yaiku salah sawijining perangan saka ngilmu kang ngrembag ngenani homograf. Bedhane homograf karo homonim yaiku yen ing homograf iku sing padha mung wujud panulise lan beda ing pangucape dene yen ing saroning homonim iku sing padha yaiku panulise lan uga padha ing pangucape.
Padha dene karo homonim, homograf uga nduweni teges kang werna-werna, ananging intine padha. Miturut para ahli, homograf yaiku: Miturut Abdul Chaer (1995: 93), homograf yaiku tembung kang padha tulisane, nanging beda pangucapan lan tegese. Dene miturut Dr. Sarwiji Suwandi, M. Pd (2006:109), homograf yaiku gegayutan antarane tembung-tembung kang beda tegese, ananging padha tulisane. Homograf yaiku tembung kang homografi karo tembung liyane. Semono uga miturut Sry Satriya Tjatur Wisnu Sasangka (2008:230), homograf yaiku tembung loro utawa luwih kang padha panulise lan bedha pangucape. Dene miturut prof. Dr. Mansoer Pateda nduweni panemu kang beda ngenani homograf yaiku yen miturut prof. Dr. Mansoer Pateda pateda homograf yaiku tembung-tembung kang loro kang panulise lan uga padha ing pangucape.
3. Homonim ing cara nindakake pakaryan
nari (njoged)
(1) nari
nari (tawa)

(1a) tembung nari ing tuladha kang kapisan ngemu teges nindakake pakaryan sarana jejogedan utawa ngobahake awak.
(1b) tembung nari ing tuladha kang kapindho ngemu teges nindakake pakaryan kanthi cara obahing piranti kecap utawa nggawe vokal.
mundhut (tuku)
(2) mundhut
mundhut (njupuk)
(2a) mundhut ing tuladha kang kapisan ngemu teges tuku dilakokake kanthi cara nggawe barang utawa dhuwit
(2b) mundhut ing tuladha kang kapindho ngemu teges dilakokake kanthi nggunakake tangan.

ngasta (mulang)
(3) ngasta (ng+asta)
ngasta (nggawa)
(3a) ngasta ing tuladha kapisan dilakokake kanthi cara nggunakake vokal utawa piranti kecap.
(3b) ngasta ing tuladha kapindho dilakokake kanthi cara nggunakake tangan.


nyekar (nembang)
(4) nyekar
nyekar (geren)
(4a) nyekar ing tuladha kang kapisan dilakokake kanthi cara nggunakake piranti kecap.
(4b) nyekar ing tuladha kapindho ngemu dilakokake kanthi cara nggunakake alat kecap lan obahing tangan
ngukur (ng+ukur)
(5) ngukur
ngukur (ng+kukur)
(5a) tembung ngukur kang kapisan dilakokake kanthi cara nggunakake piranti ukur. Tuladhane Pak Ahmad lagi ngukur kain gawe garisane anake.
(5b) Tembung ngukur ing kang kapindho kedadeyan dilakokake kanthi cara nggunakake piranti kukur. Tuladhane Gaguk ngukuri wetenge sing gatelen.
diduduhi (jangane)
(6) diduduhi diduduhi (diwenehi weruh)


Tuladha ing ukara
(6a) Tembung diduduhi ana ing ukara kapisan dilakokake kanthi cara menehi duduh. Tuladhane supaya enak sotone apa ora diduduhi dhisik.
(6b) tembung diduduhi ing ukara kapindho dilakokake kanthi cara menehi weruh. Tuladhane aku weruh omahe Agus merga diduduhi Marni.


dirusuhi (diregedi)
(7) dirusuhi
dirusuhi (diganggu)
Tuladha ing ukara :
(7a) tembung dirusuhi ing ukara kang kapisan dilakokake kanthi cara ngregeti. Tuladhane Jogane lagi disapu, mula aja dirusuhi maneh lho ya!
(7b) tembung dirusuhi ing ukara kang kapindho dilakokake kanthi gawe rusuh utawa ngganggu marang liyan. Tuladhane ing ukara Samijan mambengi ora bisa turu amarga dirusuhi Samidi.
disetel (dikakake)
(8) disetel
disetel (dicocokake)

Tuladha ing ukara :
(3a) Radio ana ing kamar etan kuwi isih durung bisa disetel, isih rusak.
(3b) Rat, yen numpak montor sing ati-ati amarga setang montore isih durung disetel sawise tabrakan wingenane.
Saka tuladha ukara ing ndhuwur bisa dimangerteni yen tembung disetel ing ukara kapisan ngemu teges dikakake, dene tembung disetel ing ukara kapindho ngemu teges dicocokake
4. Homograf ing sajroning homonim
Geger [gәgәr]
(2) geger
geger [gϵgϵr]

tuladhane ing ukara
a. Aku dikongkon ngukur gegere bapak.
b. Sapa sing wis wani gawe geger desa kene.
Panulise tembung geger ing nduwur iku pancen padha nanging tembung geger mau nduweni pangucap kang beda. Kanggo meruhi kepriye pangucap tembung geger kang bener samesthine kita nggunakake panulisan fonetis. Iki disebabake amarga mung nganggopanulisan sacara fonetis bisa diweruhi panulisan antarane {ә} ing tembung geger ing tembung kapisan lan {ә} ing tembung geger. Tembung Geger [gәgәr] ing ukara kapisan nduweni teges perangane awak dene tembung geger [gϵgәr] kapindho nduweni teges kisruh.


Lemper [lәmpәr]
(3) lemper
lemper [lϵmpϵr]
tuladhane ing ukara
a. Mbok yam dodolan lemper ing pasar wage.
b. esuk mau aku sarapan lemper lima.
Panulise tembung lemper ing nduwur iku pancen padha nanging tembung lemper mau nduweni pangucap kang beda. Kanggo meruhi kepriye pangucap tembung lemper kang bener samesthine kita nggunakake panulisan fonetis. Iki disebabake amarga mung nganggo panulisan sacara fonetis bisa diweruhi panulisan antarane {ә} ing tembung lemper ing tembung kapisan lan {ә} ing tembung lemper. Tembung Lemper [lәmpәr] ing ukara kang kapisan nduweni teges piranti kanggo ngulek sambel dene [gәgәr] ing ukara kapisan nduweni teges perangane awak dene tembung lemper [lϵmpϵr] ing ukara kapindho nduweni teges arane panganan.


gendheng
(4) gendheng
gendheng
tuladhane ing ukara
a. wong gendheng kae berak-berok turut ratan.
b. penggaweyane sardi saben dina gawe gendheng.

Panulise tembung lemper ing nduwur iku pancen padha nanging tembung gendheng mau nduweni pangucap kang beda. Kanggo meruhi kepriye pangucap tembung gendheng kang bener samesthine kita nggunakake panulisan fonetis. Iki disebabake amarga mung nganggo panulisan sacara fonetis bisa diweruhi panulisan antarane {ә} ing tembung gendheng ing tembung kapisan lan {ϵ} ing tembung gendheng ing ukara kang kapindho. Tembung gendheng ing ukara kang kapisan nuduhake kahanane wong kang lagi lara jiwa dene gendheng ing ukara kang kapindho nduweni teges arane barang kang kanggo iyup-iyup omah.

Netes [nәtәs]
(5) netes
netes [nϵtϵs]

tuladhane ing ukara
a. endhoge si blorok netes lima.
b. Amarga curigene pecah banyune netes nganti entek.
Panulise tembung netes ing nduwur iku pancen padha nanging tembung netes mau nduweni pangucap kang beda. Kanggo meruhi kepriye pangucap tembung netes kang bener samesthine kita nggunakake panulisan fonetis. Iki disebabake amarga mung nganggo panulisan sacara fonetis bisa diweruhi panulisan antarane {ә} ing tembung netes ing tembung kapisan lan {ϵ} ing tembung netes ing ukara kang kapindho. Tembung netes kahanane endhog dene netes ing ukara kang kapindho nduweni teges kahanan obahe banyu.
godheg [godhәg]
(6) godheg
godheg [godhϵg]
tuladhane ing ukara
a. Anton iku ora nate gelem semaur ning geleme mung godheg.
b. Sarehne godhege dawa dheweke dipopol Pak harjo.
Panulise tembung netes ing nduwur iku pancen padha nanging tembung godheg mau nduweni pangucap kang beda. Kanggo meruhi kepriye pangucap tembung godheg kang bener samesthine kita nggunakake panulisan fonetis. Iki disebabake amarga mung nganggo panulisan sacara fonetis bisa diweruhi panulisan antarane {ә} ing tembung godheg ing tembung kapisan lan {ϵ} ing tembung godheg ing ukara kang kapindho. Tembung godheg [godhәg] ing ukara kang kapisan nuduhake solah bawane sirah dene godheg [godhϵg] ing ukara kang kapindho mujudake sawijine arane rambut.
Nyepak [nyϵpak]
(7) nyepak
nyepak [nyәpak]
tuladhane ing ukara
a. Agus nyepak bal kuwi.
b. Klambine wis nyepak nang nduwur meja.
Panulise tembung nyepak ing nduwur iku pancen padha nanging tembung nyepak mau nduweni pangucap kang beda. Kanggo meruhi kepriye pangucap tembung nyepak kang bener samesthine kita nggunakake panulisan fonetis. Iki disebabake amarga mung nganggo panulisan sacara fonetis bisa diweruhi panulisan antarane {ϵ} ing tembung nyepak [nyϵpak] ing tembung kapisan lan {ә} ing tembung nyepak [nyәpak] ing ukara kang kapindho. Tembung nyepak ing ukara kang kapisan nuduhake pakaryan kang dilakoni sikil dene nyepak ing ukara kang kapindho nduweni teges barang kang wis dicepakake

Ngereti [ngәrәti]
(8) ngereti
ngereti [ngәrϵti]
Tuladhane ing ukara
a. Agus lagi ngereti tebu.
b. Surti senengane ngereti bandhane wong lanang.

Panulise tembung ngereti ing nduwur iku pancen padha nanging tembung ngereti mau nduweni pangucap kang beda. Kanggo meruhi kepriye pangucap tembung ngereti kang bener samesthine kita nggunakake panulisan fonetis. Iki disebabake amarga mung nganggo panulisan sacara fonetis bisa diweruhi panulisan antarane {ә} ing tembung ngereti [ngәrәti] ing tembung kapisan lan {ϵ} ing tembung ngereti [ngәrϵti] ing ukara kang kapindho. Tembung ngereti ing ukara kang kapisan nuduhake pakaryan gawe keret ing tebu dene ngereti ing ukara kang kapindho yaiku nduweni teges pakaryan kang ala amarga ngrusuhi katentremaning liyan.
Merang [mϵrang]
(9) merang
merang [mәrang]
tuladhane ing ukara
a. Pak Sugeng merang kelasku dadi telung kelompok.
b. Regane merang sarit saiki limangatus ewu.

Panulise tembung merang ing nduwur iku pancen padha nanging tembung merang mau nduweni pangucap kang beda. Kanggo meruhi kepriye pangucap tembung merang kang bener samesthine kita nggunakake panulisan fonetis. Iki disebabake amarga mung nganggo panulisan sacara fonetis bisa diweruhi panulisan antarane {ϵ} ing tembung merang [mϵrang] ing tembung kapisan lan {ә} ing tembung merang [mәrang] ing ukara kang kapindho. Tembung merang [mϵrang] ing ukara kang kapisan nuduhake pakaryan ndadekake kelas dadi luwih saka sakelompok dene merang [mәrang] kang kapindho nuduhake arane kulit pari.


Gedheg [gәdhϵg]
(10) gedheg
gedheg [gϵdhәg]
Tuladhane ing ukara
a. Omahe Pak Sur isih nggawe gedheg kanggo aling-aling.
b. Saben ditakoni wong Anton mung gedheg wae.

Panulise tembung gedheg ing nduwur iku pancen padha nanging tembung gedheg mau nduweni pangucap kang beda. Kanggo meruhi kepriye pangucap tembung gedheg kang bener samesthine kita nggunakake panulisan fonetis. Iki disebabake amarga mung nganggo panulisan sacara fonetis bisa diweruhi panulisan antarane {ә} ing tembung gedheg ing tembung kapisan lan {ϵ} ing tembung gedheg ing ukara kang kapindho. Tembung Gedheg [gәdhϵg] ing ukara kang kapisan nuduhake piranti kanggo gawe nutupi omah gedheg [gϵdhәg] ing ukara kang kapindho nduweni teges solah bawane sirah.
gudheg [gudhәg]
(11) gudheg
gudheg [gudhϵg]
Tuladhane ing ukara
a. Sikile Anton gudhegen.
b. Anton seneng mangan gudheg.
Panulise tembung gudheg ing nduwur iku pancen padha nanging tembung gudheg mau nduweni pangucap kang beda. Kanggo meruhi kepriye pangucap tembung gudheg kang bener samesthine kita nggunakake panulisan fonetis. Iki disebabake amarga mung nganggo panulisan sacara fonetis bisa diweruhi panulisan antarane {ә} ing tembung gudheg ing tembung kapisan lan {ϵ} ing tembung gudheg ing ukara kang kapindho. Tembung gudheg [gudhәg] ing ukara kang kapisan nuduhake arane penyakit dene gudheg [gudhϵg].

Ngendhangi [ngәndhangi]
(12) ngendhangi
ngendhangi [ngϵndhangi]
tuladhane ing ukara
a. sing mgendhangi campur sari kae jenenge Agus.
b. Wingi sore aku ngendhangi adiku ing rumah sakit haji.
Panulise tembung ning ngendhangi nduwur iku pancen padha nanging tembung ngendhangi mau nduweni pangucap kang beda. Kanggo meruhi kepriye pangucap tembung ngendhangi kang bener samesthine kita nggunakake panulisan fonetis. Iki disebabake amarga mung nganggo panulisan sacara fonetis bisa diweruhi panulisan antarane {ә} ing tembung ngendhangi ing tembung kapisan lan {ϵ} ing tembung ngendhangi ing ukara kang kapindho. Tembung ngendhangi [ngәndhangi] ing ukara kang kapisan nduweni teges nindakake pakaryan kanthi nabuh kendhang dene ngendhangi [ngϵndhangi]ing ukara kang kapisan nduweni teges marani utawa niliki wong lara.






Dudutan
Homonim yaiku tembung loro utawa luwih kang nduweni pangucap lan panulisan kang padha. Nanging kang mbedakake siji lan sijne yaiku ing teges. Ing jerone teges iku mau uga bisa diweruhi yen homonim uga nduweni pambeda ing sajroning nindakake pakaryan utawa ing jinising aran. Saengga bisa nuwuhake rasa jumbuh ing cecaturan.
Saka andharan kang ana ing dhuwur bisa didhudhut yen homograf yaiku tembung loro kang nduweni panulisan kang padha nanging pangucape bedha. Kanggo meruhi kepriye swara kang sebenere ing homograf kudu ditulis nganggo tulisan fonetis. Saliane iku kang dadi njalari pambeda ing sajroning homograf yaiku disebabake amarga ana bedha pangucap ing sajroning aksara e. Ing basa jawa aksara {e} bisa diwaca {ϵ} lan uga bisa diwaca {ә}. Mula saka kuwi ing sajronig homograf kang ndadekake jumbuh ing sajroning ngucapake tembung kang nduweni panulisan kang padha nanging bedha pangucap dijalari saka perkara ing dhuwur mau. Biasane kang nduweni rasa jumbuh mau yaiku wong-wong sajabane wong jawa dhewe.





























KAPUSTAKAN
Chaer, Abdul.1990. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta : Rineka Cipta
Pateda, Mansoer. 1989. Semantik Leksikal. Ende : Nusa Indah
Sasangka,Wisnu,S.S.T.2008. Paramasastra Jawa Gagrag Anyar. Surabaya: PT Citra Jaya Murti
Verhaar,J.W.M.1983.Pengantar Linguistik. Yogyakarta: Gajah Mada University Press